Entry: Opini di Sinar Harapan Nov 18, 2006
Sabtu, 18 Juni 2005
O P I N I
No. 5027
Halaman Utama
Tajuk Rencana
Nasional
Ekonomi
Uang & Efek
Jabotabek
Nusantara
Luar Negeri
Olah Raga
Iptek
Hiburan
Feature
Mandiri
Ritel
Hobi
Wisata
Eureka
Kesehatan
Cafe & Resto
Hotel & Resor
Asuransi
Otomotif
Properti
Promarketing
Budaya
CEO
Opini
Foto
Karikatur
Komentar Anda
Tentang SH
“White Anglo-Saxon Protestant”
Oleh Iwan Sulistiawan
Dalam penelitian-penelitian yang menggunakan konsep dan teori mengenai suku bangsa yang berkaitan dengan hubungan antara suku bangsa dan kesukubangsaan dengan keyakinan keagamaan, dapat disimpulkan setiap konflik antaretnis dipastikan muatan keagamaan ikut terserap di dalamnya. Konflik antaretnis terlahir dari dan ada dalam wadah hubungan antarsuku bangsa.
Dalam konflik antarsuku bangsa, corak kesukuan individual perorangan berubah menjadi kategorikal. Yang akan dihancurkan bukan lagi orang per orang, bukan pula kelompok, melainkan kategori etnis suku bangsa, termasuk keyakinan keagamaan yang dipeluknya. Dalam setiap konflik antaretnis, terserap muatan emosi dan keyakinan keagamaan para pelakunya (Suparlan 2004).
Harold R. Isaacs (1993) memberikan ilustrasi yang cukup lengkap tentang konflik antaretnis dan antarbangsa di seluruh dunia di mana keyakinan keagamaan turut terserap di dalamnya. Isaacs menyatakan saling membunuh seringkali terjadi dan melanda luas daerah-daerah yang sebelumnya belum pernah bentrok dan hal ini merupakan kapasitas penyebar kematian yang lebih besar dari yang disebabkan oleh kedahsyatan teknologi.
Isaacs menggambarkan konflik-konflik tersebut sangat mengerikan. Saling bunuh antara orang Hindu dan Islam di India; perang suku di Nigeria, di Kongo, Chad, dan Sudan; orang India membunuh orang Nagas di timur laut Assam; orang Indonesia membunuh orang Cina di Indonesia; orang Cina membunuh orang Tibet di Tibet; bangsa Tutsi dan Hutu saling bunuh di Burundi; orang Katolik dan Protestan saling bunuh di Ulster.
“White Anglo-Saxon Protestant”
Helen Watson dan Jack Boag (2000) menyatakan agama sering menjadi elemen mendasar konflik-konflik antarsuku bangsa. Watson dan Boag yang banyak mengambil contoh dari konflik berdarah di Balkan antara orang Serbia yang Kristen Ortodoks, orang Kroasia yang Katolik dan orang Albania yang Muslim, mengatakan sangat sulit memisahkan konflik antaretnis dan konflik yang disebabkan oleh faktor agama.
Dalam konteks Amerika, konflik antara orang Irlandia Katolik dengan orang WASP (White Anglo-Saxon Protestant) dapat memberikan gambaran menyeluruh konflik antarsuku bangsa yang melibatkan keyakinan keagamaan masyarakat suku bangsanya. Pada abad ke-19, Amerika menjadi surga bagi para imigran. New York pun menjadi melting pot, tempat tinggal masyarakat dari berbagai suku bangsa dengan berbagai kebudayaannya.
Masyarakat New York pada masa itu didominasi golongan atau masyarakat suku suku bangsa WASP (White Anglo-Saxon Protestant), suatu golongan masyarakat Amerika asal Belanda dan Inggris yang beragama Protestan, yang merasa sebagai penduduk asli Amerika. Golongan mayoritas dan sekaligus dominan ini mempunyai kedudukan yang tinggi dalam struktur politik, sosial dan ekonomi. Maka gelombang imigrasi besar-besaran memicu kekhawatiran golongan WASP tersebut.
Mereka takut dominasinya direbut oleh para pendatang ini lalu menyebarkan gerakan nativisme, gerakan menyebarkan kebencian kepada masyarakat suku bangsa pendatang, yakni para imigran. Di saat-saat Amerika mengalami kesulitan seperti depresi ekonomi, atau keadaan menjelang, dalam, dan sesudah perang, golongan WASP sering menjadikan kaum imigran sebagai kambing hitam dari masalah tersebut.
Golongan WASP bahkan membentuk the American Party yang lebih dikenal dengan nama the Know-Nothing Party. Dua hal yang menjadi tuntutan partai ini adalah menghalang-halangi para imigran dari golongan etnis pendatang memperoleh posisi penting dalam bisnis dan mengusulkan para pendatang tidak diberi hak suara dalam pemilihan umum sampai mereka berada di Amerika selama 21 tahun. Semboyan terkenal dari partai nativis ini adalah “America for the Americans”.
Yang paling menjadi sasaran kebencian golongan WASP di New York adalah etnis pendatang dari Irlandia yang beragama Katolik. Mereka datang ke Amerika saat Irlandia mengalami bencana kelaparan tahun 1830-an dan 1840-an akibat kegagalan panen kentang. Pada masa itu, sebagai pendatang, imigran Irlandia Katolik mengalami diskriminasi dari golongan suku bangsa WASP yang dominan yang ingin mempertahankan penguasaan sumber daya atau sumber rezeki.
“Gangs of New York”
Thomas Sowell (1989) mengatakan golongan WASP yang merasa sebagai penduduk asli menganggap para imigran Irlandia pemabuk, pembuat kerusuhan, dan tidak bertanggung jawab. Mereka juga membuat larangan kerja seperti yang ditunjukkan oleh slogan “No Irish Need Apply” atau “Orang Irlandia Tidak Usah Melamar” yang ditempel pada pintu-pintu rumah atau bahkan pada iklan-iklan lowongan pekerjaan di surat kabar the Tribune atau the New York Times , sehingga yang diperoleh orang Irlandia adalah pekerjaan yang berat, kasar, kotor, dan terlalu bahaya bagi orang lain.
Penindasan tersebut diperparah oleh rezim penguasa dan penegak hukum yang tidak dapat bertindak adil. Penguasa Tammany Hall, “Boss” William Tweed, misalnya, adalah seorang Protestan yang memanfaatkan orang Irlandia Katolik untuk kepentingan politiknya. Ia memimpin organisasi pemadam kebakaran sukarela orang Irlandia sambil mempertahankan orang Irlandia Katolik tetap berada dalam posisi sosial ekonomi yang rendah.
Terjadilah kemudian konflik yang di dalamnya keyakinan keagamaan turut memperkuat kesukubangsaan masing-masing pihak yang bertikai, yakni agama Kristen Protestan untuk WASP dan Katolik untuk Irlandia pendatang. Konflik etnis yang kemudian mengikutsertakan keyakinan agama di dalamnya ini lalu mencapai puncaknya dengan konflik fisik berdarah yang mengerikan yang tergambar jelas dalam “Gangs of New York” (Miramax, 2002), sebuah film yang disutradarai oleh Martin Scorsese yang dibuat berdasarkan sejarah terbentuknya Kota New York.
Agar konflik etnis tidak berkembang menjadi konflik agama, diperlukan kesadaran dari setiap masyarakat etnis untuk melihat bahwa dalam sejarah, agama seringkali dipakai demi memenangkan persaingan ekonomi atau politik dalam rangka kepentingan individu atau kelompok tertentu. Di sisi lain, para pemimpin agama, meminjam istilah Ma’arif Jamuin (2004), harus mendampingi masyarakat pemeluk agama untuk memahami teks ajaran secara kritis dan kontekstual. Potensi bergesernya konflik etnis menjadi konflik agama akan sangat berkurang jika tercipta masyarakat-masyarakat etnis yang cerdas dan kritis dalam beragama.
Penulis adalah mahasiswa S2 Kajian Wilayah Amerika UI.
Copyright © Sinar Harapan 2003
0 comments
Leave a Comment:
Name
Homepage (optional)
Comments
No comments:
Post a Comment